Seorang Pandai Memandaikan
Terlahir pada 10 Agustus 1952
di desa Parengan Maduran Lamongan, KH Ihya’ Ulumiddin setelah lulus SR
pada tahun 1964 lalu melanjutkan pendidikan di pesantren Langitan dalam
asuhan KH Abdul Hadi Zahid, seorang ulama kharismatik yang sangat
terkenal dengan ke istiqamahan nya. Kurang lebih sepuluh tahun mondok di
langitan dari tahun kemudian melanjutkan magang sekaligus belajar di
YAPI Bangil yang dinahkodai oleh Habib Husen al Habsyi sebelum beliau
berubah faham sebagai seorang penganut Syiah. Dari Habib Husen inilah
KH M. Ihya’ Ulumiddin mengakui mengenal sesuatu yang dinamakan gerakan
dakwah.
Dari persentuhan dengan Habib
Husen ini pula, semangat mendalami ilmu dan memperjuangkan agama semakin
membara dalam hati ustadz Ihya’ muda yang kala itu sudah mulai banyak
dikenal sebagai seorang santri yang alim. Akhirnya sampailah
pengembaraan ilmu di tanah haram Makkah yang pada gilirannya Allah
mempertemukan beliau dengan guru murabbi Abuya As Sayyid Muhammad al Maliki yang selalu beliau ceritakan segala tentangnya dalam kajian-kajian ilmu.
Setelah empat tahun berkhidmah
dan belajar kepada Abuya As Sayyid Muhammad al Maliki, Ustadz Ihya’ pun
kembali pulang ke Indonesia pada tahun 1980. Meskipun sudah berada di
Indonesia, tetapi hubungan antara murid dan guru ini terus
berkesinambungan hingga saat ini, saat pesantren Abuya telah diasuh oleh
As Sayyid Ahmad bin Muhammad al Maliki. Wujud dari hubungan ini salah
satunya adalah hingga kini mayoritas santri Indonesia yang bermaksud
untuk mondok di Rushaifah Makkah harus terlebih dulu berstatus sebagai santri Ma’had Nurul Haromain Ngroto Pujon Malang. Sebuah hubungan yang tiada akhir yang semoga diberkahi dan dilanggengkan oleh Allah.
Merintis Dakwah
“Setinggi apapun ilmu yang
engkau capai, tetapi jika telah memasuki dunia dakwah maka kamu harus
memulainya lagi dari paling bawah”, ini adalah ungkapan yang sering
disampaikan Abi, sapaan akrab KH Ihya’ Ulumiddin. Hal ini terkait
dengan pengalaman pribadi ketika mulai merintis dakwah di rumah mertua
di Keputran Kejambon Surabaya Jatim. Saat itu, Abi mengetik dan
memfotocopykan sendiri tarjamah kitab fiqih paling dasar Sullam Safinah
untuk kemudian diajarkan kepada para ibu di sekitar rumah. Jika dalam
pepatah dikatakan sebaik-baik apapun bangkai ditutupi, toh baunya
tercium juga. Sebaik apapun ditutupi, kejahatan pasti terbongkar.
Sebaliknya juga demikian, kebaikan tidak perlu dipasarkan, diberitakan
dan ditonjolkan karena manusia pasti tidak akan mampu menutup mata dari
kebaikan. Becik ketitik olo ketoro, baik pasti terlihat, buruk pasti tersingkap. Allah azza wajalla
dalam firmanNya juga memerintahkan; “Dan Katakanlah: "Beramallah kamu,
maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu
itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang
ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah
kamu kerjakan.”QS At Taubah:105. “...tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud…”QS al fath:29.
Demikianlah, meski hanya bermula
dari dakwah di gang sempit di sebuah mushalla 3x4 dan selama dua tahun
penuh hanya ada seorang santri bernama Ridhwan Yasin yang kini menjadi
da’i penceramah dengan jam terbang sangat padat, nama Ustadz Ihya’ mulai
dikenal oleh kalangan mahasiswa. Perlahan-lahan pada era 80-an itulah
Ustadz Ihya’ kemudian menjadi salah seorang pioneer dakwah di
kampus-kampus negeri di surabaya dan malang. Pada awal-awal kemunculan
HTI, Beliau diangkat menjadi salah seorang guru pembina bersama Ustadz
Abdurrahman al Baghdadi, perintis HTI. Dakwah di kampus inilah cikal
bakal yang kemudian melatarbelakangi berdirinya Yayasan al Haromain yang
sekarang berpusat di Ketintang Barat Gang II. Para mahasiswa-mahasiswi,
ikhwan akhowat yang dulu pernah mengaji kepada Abi dan sekarang telah
tersebar di banyak kota dan bahkan negara sampai kini masih banyak pula
yang terikat dan terhubung dengan Abi, dengan dakwah JDA (Jamaah Dakwah
al Haromain). Keterikatan dan hubungan terasa semakin dekat ketika
kajian-kajian Abi yang berpusat di pesantren Nurul Haromain dan
Ketintang bisa diakses secara live lewat sebuah TV internet al Muttaqin.
TV yang berpusat di Malaysia. Intensitas dakwah yang begitu padat dan
hubungan yang akrab dengan kalangan kampus ini merupakan satu hal yang
membedakan Abi Ihya’ dengan Ustadz dan para kiai lain ketika itu yang
rata-rata menjadikan pesantren sebagai basis utama untuk merintis
dakwah.
Selain melakukan pembinaan di
kalangan mahasiswa, Abi Ihya’ juga masih aktif mengajar di beberapa
pesantren di wilayah jawa timur dan sebagian komunitas masyarakat di
madura. Hal demikian membuat Abi waktu itu banyak menjalani kehidupan
dalam perjalanan. Setelah sekitar delapan tahun berpindah dari satu
titik ke titik lain, Abi sempat mengadu kepada Sang Guru, Abuya Al
Maliki; “Sampai kapan saya harus begini?” maka Abuya memberikan jawaban;
“Itu semua adalah sesuatu yang memang harus dijalani, periode kamu
mengenalkan dakwah (Dauratut Ta’riif) sehingga waktu sepuluh tahun
lamanya”
Dan memang setelah sepuluh tahun
dijalani, Abuya kemudian memerintahkan agar Abi menjadi pengasuh
pesantren yang barusan selesai dibangun di desa Ngroto Pujon Malang yang
pembangunannya sudah dimulai sejak tahun 1986.
Sejak tahun 1991 Abi Ihya’ pun
memulai dakwah dengan suasana baru. Selain masih terus membina mahasiswa
dan para jamaah di Surabaya, beliau pun menjadi pengasuh Pesantren
Pengembangan dan Dakwah Nurul Haromain sehingga harus membagi waktu
pulang pergi antara Surabaya dan Malang. Hingga kini setiap Senin sampai
Kamis beliau berada di Pujon dan Jum’at sampai Ahad berada di Surabaya.
Kebiasaan yang barangkali dirasakan bagi banyak orang cukup melelahkan,
apalagi kondisi jalan yang semakin hari semakin padat oleh kendaraan
yang sama sekali tidak dikontrol dan dibatasi jumlah populasi untuk
disesuaikan dengan kondisi dan kapasitas jalan. Ditambah lagi dengan
bencana Lapindo yang sampai kini belum terselesaikan masalah
transportasi yang diakibatkannya. Porong - Gempol masih sering macet.
Akan tetapi seperti disabdakan Nabi Saw bahwa jika ingin mensyukuri
nikmat dunia maka kita harus melihat kepada orang yang berada di bawah
kita. Begitulah Abi yang seringkali mengatakan bahwa beliau cuma sekali
seminggu PP Surabaya Malang, sementara para sopir atau banyak lagi orang
yang setiap hari PP Surabaya Malang, atau bahkan dalam sehari lebih
dari satu kali. Ya, meski bukan aktivitas yang ringan tetapi seperti
dalam hikmah, jika seringkali bersentuhan maka semakin tidak terasa.
Betapa berat dan melelahkan sebuah pekerjaan, akan tetapi jika sudah
biasa maka tidak terasa.
Bersama Abuya As-Sayyid Muhammad Bin Alawy Al Maliky Al Hasany ketika beliau berkunjung ke Malaysia |
Mencetak Kader
“Saya ingin mendirikan sebuah
pesantren” Inilah salah satu jawaban ketika anda, para pembaca
berkesempatan datang di pesantren Nurul Haromain Pujon dan bertanya
kepada salah seorang santri putera di sana; “Apa cita-cita anda?” Jika
latar belakang santri tersebut adalah putera seorang kiai maka itu
adalah lumrah. Akan tetapi jika santri tersebut adalah anak petani maka
ini sungguh harus diketahui dan diakui sebagai sesuatu yang luar biasa,
hasil dari sebuah tarbiyah dakwah, bukan sekedar ta’lim. Perlu diketahui
bahwa meski telah belajar di pondok pesantren sekian lama, sangat
jarang seorang santri anak petani yang bercita-cita tinggi menjadi
seorang kiai, mendirikan dan merintis sebuah pesantren. Akan tetapi Abi
Ihya’ Ulumiddin telah membuktikan diri sebagai seorang pendidik yang
berhasil merubah tradisi pesimis seorang santri. Betapapun kebanyakan
adalah anak-anak petani desa, mayoritas santri-santri beliau di
pesantren Nurul Haromain memiliki cita-cita tinggi dan mulia sebagai
seorang juru dakwah dengan salah satu cara mendirikan pesantren untuk
yatim dhuafa’, pesantren untuk umum atau minimal Lembaga Pendidikan
Islam sebagai salah satu solusi pendidikan umat Islam masa kini atau
majlis ta’lim. Sampai hari ini, para santri Nurul Haromain yang dianggap
dan diperlakukan oleh Abi sebagai anak sendiri tetap menjadi ujung
tombak perkembangan dakwah JDA/PERSYADHA yang telah memiliki
cabang di Batam dan hendak membuka cabang di Samarinda. Kita berharap
tradisi ini tetap eksis dan terus berkembang di kemudian hari.
Apa rahasia ini semua? Sebagai
seorang yang figur yang dikenal low profile dan suka merendah, Abi hanya
bilang ini semua adalah berkah guru, berkah Abuya As Sayyid Muhammad
bin Alawi al Maliki. Meski demikian perlu kiranya kita membuat analisa.
Dalam sebuah teori pendidikan dikatakan cara berfikir dan berperilaku
seseorang sangat dipengaruhi oleh ayah dan gurunya. Jika kebanyakan
santri Nurul Haromain memiliki tekad menjadi seorang perintis, maka ini
sangat sesuai dengan jiwa sang guru Abi Ihya’ Ulumiddin yang sejak awal
menapakkan kaki di medan dakwah memiliki tekad berdiri di atas kaki
sendiri. Sejak datang dari Makkah beliau bertekad untuk merintis dakwah
yang di kemudian hari membesarkan namanya dengan berjuang sendiri dari
nol. Tekad bulat ini terindikasi dari sikap beliau kala itu yang secara
baik-baik menolak diambil menantu seorang kiai pemilik pesantren besar.
Tekad dan sikap seperti inilah yang selalu ditanamkan oleh beliau kepada
para santrinya.
Imam Ibnul Jauzi, salah seorang
ulama yang menjadi salah satu korban kebiadaban tentara Jengiz Khan
ketika membumi hanguskan Baghdad, menulis dalam kitabnya Talbis Iblis,
sebuah pengamatan bahwa sedikit sekali terkumpul dalam diri seseorang
dua keahlian; ahli fiqih dan ahli hadits. Di sana beliau mencontohkan
seorang ahli hadits bernama Ibnu Shaid yang ketika seorang wanita datang
bertanya bagaimana hukumnya jika seekor ayam jatuh dalam sumur; apakah
airnya mutanajjis atau masih tetap suci? Maka Ibnu Shaid kebingungan dan
justru balik bertanya; “Mengapa sampai ada ayam jatuh ke dalam sumur?”
“Karena sumurnya tidak tertutup” jawab si wanita. Akhirnya seorang ahli
fiqih yang kebetulan sedang berada di situ memberikan jawaban: “Jika air
berubah maka sumur itu mutanajjis dan jika tidak berarti masih tetap
bisa dipakai untuk minum dan bersuci”. Sebaliknya jika seseorang hanya
mempelajari fiqih tanpa mengetahui dari manakah sebuah hukum ditelurkan
dan bagaimana proses Istinbathnya maka salah satu dampak dari hal ini
adalah sikap fanatik, ogah menerima pendapat lain dan cenderung
menyalahkan sikap dan pemahaman berbeda dari orang lain.
Karena khawatir disebut terlalu
menyanjung jika mengatakan Abi Ihya’ seorang ahli fiqih dan ahli hadits,
maka di sini kami hanya perlu menyampaikan bahwa Abi Ihya’ telah
berusaha menyatukan dua disiplin ilmu dalam materi pelajaran di
pesantren Nurul Haromain. Secara formal kitab fiqih memang tidak dikaji,
akan tetapi dengan mengkaji Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi
Dawud dan Sunan Turmudzi, para santri belajar fiqih secara langsung
dengan mengetahui sumber dan metode pengambilan hukum. Sebagai contoh
misalnya; karena mengikuti kajian kitab hadits maka para santri mengenal
dalil larangan melihat wanita lain dan dalil kehalalan penglihatan
pertama dari hadits tentang bagaimana dalam musim haji wada’ Rasulullah
Saw memutar kepala Fadhl bin Abbas ra yang terbengong melihat wajah
seorang wanita yang datang bertanya kepada Rasulullah Saw. Juga sabda
beliau kepada Ali; “Bagimu pandangan pertama...”.
Tradisi
keilmuan seperti ini membuat para santri lebih terbuka dan luas
cakrawala berfikir sehingga ketika ditugaskan berdakwah hati merasa
enjoy bergaul dengan semua orang islam, tanpa ada perasaan risih
berhadapan dengan orang lain dengan aneka macam madzhab karakter, aliran
madzhab dan latar belakang.
Dengan
mempelajari hadits secara tahqiq maka bukan sekedar mengetahui
bagaimana para imam fiqih empat madzhab menelorkan hukum, akan tetapi
juga secara langsung mengetahui prinsip dan sikap Rasulullah Saw dalam
merespon realitas yang berkembang. Mempelajari hadits berarti menyebut
dan mengingat Rasulullah Saw dan seperti dikatakan para ahli suluk bahwa
menyebut dan mengingat Rasulullah Saw bisa menambah keimanan. Jadi
kajian hadits secara langsung adalah upaya memperkuat Aqidah sebagai
modal utama berdakwah dan berjuang di jalan Allah.
Untuk memperkuat Aqidah ini maka
langkah Abi dalam tabiyah kepada para santri adalah mewajibkan shalat
malam dan memperbanyak dzikir. Setiap malam jam 02: 30 para santri
dibangunkan untuk bersama-sama shalat tahajjud dan bermunajat kepada
Allah. Membangun tradisi shalat malam di wilayah pujon yang dingin
diakui sendiri oleh Abi sebagai sesuatu yang saat itu cukup berat. Akan
tetapi pertolongan Allah datang sesuai kesiapan seorang hamba. Tekad
untuk mencetak kader dakwah menjadikan aktivitas yang pahit berubah
menjadi manis dan kini pun buah manis itu bisa dilihat dan dirasakan.
Meski Abi tidak sedang berada di pujon, para santri Nurul Haromain tetap
aktif melakukan shalat malam.
Karya Ilmiah
Apa yang ada pada dirimu
diketahui dari mulutmu. Keluasan ilmu seorang KH Ihya’ Ulumiddin bisa
diketahui pula dari buku-buku yang banyak ditulisnya. Dimulai Jalaul
Afham syarah Aqidatul Awam yang ditulis di Makkah sewaktu belajar kepada
Abuya. Kitab berbahasa Arab ini entah sudah naik cetak berapa kali
karena sudah banyak pesantren di Indonesia yang menjadikan kitab ini
sebagai kurikulum wajibnya. Hebatnya, Abi sama sekali tidak melarang
siapapun mencetak dan mengedarkan kitab ini. Pernah salah satu penerbit
islam sangat besar datang meminta izin untuk mencetak. Tentu saja Abi
mengizinkan, akan tetapi ketika dalam surat perjanjian ada poin penerbit
lain tidak boleh mencetak maka Abi menolak dan membatalkan perjanjian
itu. Sikap ikhlas yang barang kali jarang sekali ditemukan dalam sebuah
karya ilmiah zaman ini yang rata-rata ditulis (Hak cetak dilindungi
undang-undang).
Karya lain adalah buku
praktis tentang shalat yang berjudul Kaifa Tushalli, tatacara shalat
menurut Rasulullah Saw, sebelum seperti sekarang ini di mana banyak buku
tata cara shalat menurut Rasulullah Saw dicetak. Kaifa Tushalli telah
dicetak dan disebarluaskan oleh AMM Jogjakarta pada era tahun 90-an.
Selain itu juga dicetak oleh Jamaah Dakwah al Haromain sendiri. Banyak
orang mampu menulis buku besar, akan tetapi membuat suatu buku praktis
tidak bisa dilakukan kecuali oleh yang betul-betul mengusai sebuah
disiplin ilmu yang ditulisnya. Selain Kaifa Tushalli, Abi juga menulis
buku praktis seperti halnya Zakat, Fiqih Puasa, Haji Tamattu’, Risalah
Wudhu, Merawat Jenazah dll. Keahlian menulis dan membuat sebuah buku
inipun berusaha beliau tularkan kepada para santrinya sehingga tidak
sedikit santri beliau baik dari kalangan pesantren ataupun kampus yang
bisa menulis dan membuat sebuah karya tulis.
Sedikit paparan di atas kiranya
cukup menjadi penegasan bahwa Abi Ihya’ adalah seorang ahli yang bisa
membuat orang lain ahli. Seorang pandai yang memandaikan orang lain.
Inilah karakteristik salah seorang figur yang oleh Rasulullah Saw layak
untuk dikepingini, selain figur seorang kaya raya yang memberikan
kekayaannya sehingga bisa membuat orang lain kaya.
Semoga Allah selalu menjaga dan memberikan kesehatan kepada beliau. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar