(Memahami
Takdir Jodoh)
Ada ungkapan
atau istilah yang populer di masyarakat tentang jodoh, yaitu “jodoh di tangan
Tuhan”. Istilah tersebut seolah menggambarkan bahwa baik-buruknya perjodohan
atau pernikahan sudah dalam ketentuan Tuhan. Menurut mereka, di mata Tuhan
sah-sah saja pernikahan yang dilakukan manusia sekalipun beda agama, karena
bukankah begitulah ketentuan-Nya?
Sepertinya
anggapan tentang “jodoh di tangan Tuhan” tidak lepas dari ajaran Kristen,
terutama Katolik. Bagi mereka, jodoh adalah aktivitas Tuhan dalam mempersatukan
dua jiwa manusia. Oleh karena itu, tidak boleh ada kekuatan selain kekuatan-Nya
untuk memisahkan keduanya. Pendirian Katolik ini berdasarkan Injil Markus yang
mengatakan: “Sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka
bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu, apa yang sudah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia.” (Markus, 10:8-9)
Kalau kita
melihat di dalam ajaran Islam, maka tidak ditemukan nash-nash qoth’i apaka itu
ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits shahih, baik secara lafdhiy maupun
ma’nawy yang membicarakan tentang jodoh (zauj) itu di tangan Tuhan. Memang ada
satu ayat dari surat Ar-Ruum yaitu ayat yang ke-21 dimana Allah berfirman :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا...
“dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram padanya....”
Dalam
pemahamam bahasa Arab, kalimat kholaqo di dalam Al Quran biasanya
digunakan pada persoalan sunnatullah (hukum alam) seperti Q.S. 1:64,
Q.S. 21:33, Q.S. 36:36, dan sebagainya. Demikian juga dengan ja’ala;
lihat Q.S. 25:62, Q.S. 10:5 dan sebagainya.
Pada
ayat-ayat di atas Allah Swt. Menggunakan kalimat yang sama, yaitu kholaqo
dan ja’ala ketika menerangkan hukum alam mengenai malam, seperti Q.S.
21:33 dan Q.S. 25:62. Maka dari sini tidak bisa diambil kesimpulan bahwa
kalimat kholaqo itu pasti dari Allah sedang ja’ala masih
memasukkan unsur kemauan manusia. Demikian pula terhadap Q.S. Ar-Ruum di atas
tidak bisa diambil kesimpulan bahwa jodoh di tangan Tuhan (qodlo),
karena berasal dari proses kholaqo Allah. Karena ternyata dalam hal yang
sama, yaitu perjodohan, Allah menggunaan kalimat ja’ala yaitu dalam Q.S.
An-Nahl: 72
وَاللَّهُ جَعَلَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا..........
“Dan Allah telah menjadikan bagi kalian
isteri-isteri dari jenis kalian......”
Dari
sini bisa kita simpulkan sebagai berikut:
Qodlo adalah ketentuan Allah yang manusia tidak bisa menolaknya, karena manusia berada pada wilayah yang dikusasai dan tidak ada pilihan lain baginya. Lihat ‘Aqidatul muslim karya Kholid Abdurrahman. Dari sini maka qodlo tidak ada kaitannya pahala dan siksa dari Allah. Oleh karena itu, jodoh bukan qodlo. Artinya, jodoh tidak masuk wilayah yang manusia tidak kuasa untuk menolaknya (tidak ada pilihan). Hal ini berdasarkan alasan antara lain:
Jodoh adalah
sunnah Rasulullah Saw. Sebagaimana riwayat di bawah ini: “Kalianlah yang telah mengucapkan
begini dan begini, ketahuilah demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang
paling takut diantara kamu kepada Allah dan paling takwa kepadanya. Tetapi aku
berpuasa dan berbuka, aku sholat, aku tidur dan aku kawin dengan wanita. Maka
barang siapa yang membenci sunahku bukanlah ia dari golonganku.” (H.R. Al
Bukhari dan Muslim)
Dari hadits ini bisa dipahami bahwa jodoh itu sunnah jika dilakukan akan mendapatkan pahala. Berarti jodoh atau nikah bukankah qodlo, karena manusia memiliki kehendak untuk melakukan sunnah tersebut.
Jodoh (nikah)
dengan cerai (tholaq) seprti dua permukaan dalam satu keping uang, yang
keduanya bersifat menyatu dalam pembahasan. Artinya, kalau dikatakan jodoh itu
adalah qodlo tentu perceraian itu qodlo juga. Padahal Allah
sangat membenci perceraian meskipun itu halal, sebagaimana sabda Rasulullah
Saw. : “Yang paling dibenci dari kehalalan di sisi Allah adalah tholaq.”
(H.R. Abu Daud). Lihat Fiqh Sunnah Dr. Sayyid Sabiq. Tentu suatu hal
yang tidak lazim kalau Allah membenci qodlo-Nya sendiri.
Qodlo
tidak masuk dalam kajian fiqh, namun masuk kajian Aqidah. Oleh karena itu,
tidak ada di fiqh mengenai bab ajal telah sampai, rezeki dari Allah dan
sebagainya. Berbeda dengan jodoh, yang di fiqh dibahas panjang dan lebar,
bahkan ada pasal tersendiri yang membahas tentang bagaimana memilih jodoh yang
baik. Itu semua menunjukkan bahwa jodoh atau nikah bukanlah masuk wilayah qodlo.
Jodoh tidak
termasuk qodlo karena banyak hadits yang berbicara tentang wanita yang
menawarkan dirinya pada laki-laki, seperti yang diceritakan oleh Tsabit
al-Bunani. Ia berkata: “Aku berada di sisi Anas dan di sebelahnya ada anak
perempuannya. Anas berkata, ‘Seorang wanita datang kepada Rasulullah
Shalllahu ‘Alihi wa Sallam, menawarkan dirinya seraya berkata. “Wahai
Rasulullah , apakah engkau berhasrat kepadaku?” (dan di dalam satu riwayat
wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang hendak memberikan diriku
kepadamu”). Maka putri Anas berkata, ‘Betapa sedikitnya perasaan malunya
idih..idih...’ Anas berkata, ‘Dia lebih baik daripada engkau, dia
menginginkan Nabi lalu menawarkan dirinya kepada beliau.” (H.R. al-Bukhari)
Dalam hadits
ini diceritakan tentang penawaran seorang wanita untuk dinikahi. Kalau
seandainya itu adalah qodlo, maka tentunya tidak ada penawaran-penawaran
seperti itu.
‘Iddah
adalah masa penungguan bagi wanita untuk menikah lagi setelah ditinggal
matai/cerai dari suaminya. Kalau jodoh itu qodlo adalah ketentuan Allah
yang tidak terkait dengan ruang dan waktu.
Surat Ar-Ruum
dan An-Nahl di atas yang menggunakan kalimat kholaqo dan ja’ala bukanlah
menunjukkan qodlo-nya jodoh, karena kholaqo dan ja’ala di sini adalah menciptakan/menjadikan istri-istri
dari (pasangan) hidup dari jenis manusia, di mana hal itu sudah menjadi hukum
alam. Artinya, seorang laki-laki berjodoh dengan hanya perempuan dari kalangan
manusia. Adalah suatu hal yang melanggar hukum alam jika seorang laki-laki
berjodoh dengan perempuan dari bangsa jin/hewan atau sesama jenis. Inilah yang
dimaksud dengan kalimat Allah “...Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri...” Q.S. Ar-Ruum: 21 dan “...dia menjadikan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri...” Q.S. AN-Nahl: 72.
Berbeda dengan
rezeki dan ajal yang memang qodlo Allah, telah didukung dengan
dalil-dalil ayat dan hadits yang mutawattir dan qoth’i. Sedangkan
untuk persoalan jodoh tidak ditemukan hadits yang shahih yang menunjuk
bahwa ia adalah qodlo Allah.
Rezeki
seseorang sudah ditentukan oleh Allah. Manusia tidak tahu berapa rezekinya.
Berbeda dengan jodoh, manusia sudah tahu jodohny sebelum pilihan jatuh padanya.
Jika dikatakan
bahwa jodoh itu qodlo berdasar kenyataan bahwa banyak orang yang telah
memepersiapkan perjodohannya dengan baik namun akhirnya batal juga, maka penulis
menjawab sebagai berikut:
Apakah
kegagalan dalam jodoh itu lebih banyak dibanding keberhasilannya? Artinya,
orang yang menyatakan seperti itu hanya melihat satu sisi saja, yaitu
kegagalannya, dan bukan keberhasilannya. Apakah orang yang berhasil dalam perjodohannya
bisa dijadikan dalil bahwa jodoh itu bukan qodlo atau usaha yang
maksmial dari manusia?
Kegagalan dalam
jodoh sebenarnya sama juga dengan kegagalan dalam melaksanakan ibadah seperti
sholat misalnya. Apakah lantas kita mengatakan pada orang-orang yang gagal
melaksanakan sholat adalah qodlo? Tentunya tidak begitu! Sebab kegagalan
seseorang melaksanakan sholat adalah perosalan lain, misalnya karena
kecelakaan, sehingga tidak bisa sholat (hendak pergi ke masjid kemudian
tertabrak mobil). Kecelakaan itu sendiri adlah qodlo. Karena kecelakaan
itu adalah sesuatu yang diluar kemampuan dan kehendak manusia. Demikian pula
dengan jodoh, maka kegagakan berjodoh dengan seseorang bisa dilihat sebagai
berikut: jika kegagalan itu karena musibah seperti kematian, kecelakaan, atau
bencana, maka kegegalan itu qodlo. Kemudian jika kegagaln itu, sperti
tidak dikehendaki orang tua, atau calonnya berubah pikiran karena suatu hal,
maka dalam kasus ini tidak bisa disebut qodlo.
Walhasil, dari
argumen-argumen di atas, maka jodoh tidak termasuk qodlo. Meskipun demikian, sebaiknya
seseorang ketika memilih jodohnya harus meminta pertimbangan pada orang-orang
dekatnya: bagaimana syahsyiah atau pertimbangan ilahi melalui istikhoroh,
sehingga diharapkan jodohnya adalah pilihan yang terbaik untuk dunia dan
agamanya suapay manusia dalam memilih jodohnya tetap terikat dengan ketentuan
syarat dan ridho-Nya. Oleh karena itu, maka haruskembali kepada Al Quran dan
As-Sunnah seraya terus memohon petunjuk Allah Swt dengan selalu berdoa kepada-Nya.
Wallahu a’lam
KH. Junadi
Sahal
(Pengasuh PP Dar Al Kayyis Surabaya)