Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (H.R Muslim) -Riyadhus Shalihin Kitabul Ilmi Al Imam An Nawawi-

Recent Posts

PSB 2013

Penerimaan Santri Baru PESMA Al Mukmin 2013.

Rihlah Dakwah

Rekreasi seusai Idul Adha 1433 H

Outbond Santri TPQ Al Haromain 2013

Outbond Santri TPQ Al Haromain di Bedengan, Kecamatan Dau, Malang

Manasik Haji 1433 H

Sebagai praktek pembelajaran dan penghormatan untuk ibadah jamaah Haji di Tanah Suci.

Gedung Pesantren Mahasiswa Al Mukmin

Jalan Mandalawangi 9 Malang Telp. 0341-561954

Selasa, 30 Juli 2013

PENDAFTARAN SANTRI BARU

PENDAFTARAN
Pendaftaran dan penerimaan santri baru dibuka selama bulan Mei s/d Agustus 2013
dan akan ditutup sewaktu-waktu jika kuota telah terpenuhi

PERSYARATAN UMUM
Mahasiswa putra maksimal semester 3
PERSYARATAN ADMINISTRASI
1. Mengisi formulir pendaftaran
2. Surat pernyataan orang tua/wali santri (dapat menyusul)
3. Foto Copy Ijazah dan NUN SMA 1 lembar
4. Pas Foto 4x6 (3 lembar)
5. Biaya pendaftaran sebesar Rp 30.000

SEKRETARIAT DAN INFORMASI PENDAFTARAN
Jalan Mandalawangi 09 
Klaseman, Karangbesuki, Sukun, Malang
Telepon 0341-561954
Laman : www.santrimandalawangi.blogspot.com


PETA LOKASI








Senin, 29 Juli 2013

Nabi Syamun Al Ghozi Alaihissalam (Samson)

Sebagai seorang muslim, kita pasti sudah tidak asing akan sebuah malam yang sungguh luar biasa pahalanya di bulan Ramadhan, malam turunnya Lailatul Qadr. Malam diturunkannya kitab Al-Qur’an, dan malam yang yang pahalanya lebih baik dari seribu bulan.


Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Nur Karim,
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan."
(Al-Qadr [97]: 1-3).

Pernahkah sahabat menanyakan mengapa lebih baik dari 1000 bulan? Atau, mengapa 1000 bulan? Atau adakah kisah tentang 1000 bulan?

Kisah tentang 1000 bulan, berawal dari seorang Nabiyullah yang bernama Nabi Syam’un al-Ghozi as. Nabi dari kalangan Bani Israil. Beliau adalah hakim ketiga terakhir pada zaman Israel kuno.

Nabi Syam’un al-Ghozi as., memiliki beberapa nama; dalam bahasa Ibrani, disebut Šimšon; sedangkan dalam bahasa Tiberias, disebut Šhimšhôn; lalu dalam Alkitab Nasrani, disebut Samson. Sedangkan dalam bahasa Arab, beliau disebut dengan Syamsyawn atau Syam'un. Nama Syam’un sendiri artinya "yang berasal dari matahari”, sedangkan al-Ghozi, artinya “yang berasal dari Ghozi” (Ghaza, sekarang).

Sebagaimana diterangkan dalam Kitab “Muqasyafatul Qulub” karangan Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Hamid al Ghazali bahwa, Rasulullah saw. saat berkumpul bersama para sahabat dibulan suci Ramadhan, beliau bercerita tentang seorang Nabi bernama Syam’un al-Ghozi as.

Diriwayatkan bahwa suatu kali Nabi Muhammad saw., terlihat tesenyum sendiri, lalu ditanya oleh para sahabatnya “Apa yang membuatmu tersenyum wahai Rasulullah”" Beliau menjawab, “Diperlihatkan kepadaku dihari akhir, ketika seluruh manusia dikumpulkan di padang ma’syar, ada seorang Nabi yang membawa pedang dan tidak mempunyai pengikut satupun, masuk ke dalam surga, dia adalah Syam'un.”

Nabi Syam’un al-Ghozi as. adalah seorang pahlawan berambut panjang yang memiliki kemukjizatan dapat melunakkan besi, dan dapat merobohkan istana.
Dengan hanya bersenjatakan tulang rahang seekor unta yang di bentuk menyerupai sebuah pedang pendek yang tajam, Nabi berperang melawan bangsa yang menentang Allah SWT, dengan penuh keberanian dan selalu dapat mengalahkan mereka. Pada riwayat lainnya dikatakan bahwa senjata beliau adalah janggut seekor unta yang dengan sekali sabetan saja, tewaslah para musuhnya.

Menghadapi kesaktian Nabi Syam’un al-Ghozi as, membuat para kafirun kewalahan. Mereka mencari jalan untuk bisa menundukkannya.
Akhirnya ide licik-pun ditemukan. Mereka menawarkan hadiah berupa uang dan perhiasan yang berlimpah kepada istri Nabi, dengan syarat ia bersedia melumpuhkan suaminya. Istri Nabi yang ternyata seorang kafir, sangat tergiur oleh hadiah itu.

Maka pada suatu malam ketika Nabi Syam’un al-Ghozi as. tertidur lelap, dengan pelan-pelan istrinya mengikat tangan dan kaki suaminya. Tiba-tiba Nabi terbangun dan dengan mudahnya memutuskan tali pengikat tersebut.
Di malam lainnya, kembali istri durhaka tersebut mengikat tangan dan kaki Nabi Syam’un al-Ghozi as yang tidur, dengan rantai besi. Lagi-lagi setelah Nabi terbangun, dengan mudahnya diputuskannya rantai besi itu. Karena sayang dan cintanya kepada isterinya, akhirnya Nabi berkata, "Istriku, tak seorang pun dapat mengalahkan aku karena rahasia kekuatanku ada pada rambutku. Jika engkau ingin mendapatkanku dalam keadaan tak berdaya maka ikatlah aku dengan potongan rambutku“.

Setelah mengetahui rahasia kekuatan suaminya, istri laknat ini kemudian mencari kesempatan untuk menggunting rambut suaminya. Akhirnya, di suatu malam ketika Nabi Syam’un al-Ghozi as. sedang tertidur lelap, istrinya mengguting beberapa rambut Nabi, sejumlah 8 helai rambut yang panjangnya sampai ke tanah. Lalu istri keji ini mengikat kedua tangan Nabi dengan 4 helai rambut, dan 4 lainnya diikatkan pada kedua kakinya.
Ketika Nabi terbangun, beliau tidak bisa berbuat apa-apa karena telah diikat oleh kekuatannya sendiri. Istrinya kemudian memberitahu para kafirun, lalu mereka datang dan membawa Nabi. Istri yang bejat ini mendapatkan hadiah yang banyak sebagaimana yang sudah dijanjikan.

Nabi Syam’un al-Ghozi as. lalu dibawa kehadapan raja para kafirun. Mulailah mereka memotong kedua telinga, bibir, kedua tangan dan kakinya. Tidak hanya itu, Nabi juga disiksa dengan dibutakan kedua matanya, lalu diikat pada sebuah tiang istana dan dipertontonkan kepada khalayak istana. Mereka menyiksa Nabi dengan tujuan agar beliau mati secara perlahan-lahan. Istrinya yang jahat, ikut pula menyaksikan penyiksaan tersebut tanpa rasa belaskasihan.

Begitu hebatnya siksaan tersebut, membuat Allah SWT berbicara pada Nabi Syam’un al-Ghozi as., “Hai Syam’un apa yang engkau inginkan, Aku akan menindak mereka.”
Nabi menjawab, “Ya Allah, berikanlah kekuatan kepadaku hingga aku mampu menggerakkan tiang istana ini, dan akan kuhancurkan mereka.”

Maka dengan seizin Allah, Nabi Syam’un al-Ghozi as. menggoyangkan tiang istana tersebut, dan tiang itupun rubuh menimpa raja bersama seluruh khalayak istana termasuk istrinya yang durhaka dan orang-orang yang telah menyiksanya. Mereka semua mati tertimpa reruntuhan bangunan istana dan terkubur didalamnya. Do’a Nabi Syam’un al-Ghozi as diqobulkan Allah SWT. Hanya beliau sendiri yang selamat, lalu Allah mengembalikan seluruh anggota badan yang telah terpotong dan menyembuhkan segala sakitnya.

Setelah peristiwa itu, Nabi Syam’un al-Ghozi as. bersumpah kepada Allah SWT akan menebus semua dosanya dengan berjuang menumpas semua kebatilan dan kekufuran selama 1000  bulan tanpa henti. Nabi menyibukkan diri dalam beribadah kepada Allah. Malam hari dilalui dengan memperbanyak shalat malam, sedangkan siangnya beliau berpuasa. Nabi menjalankan ibadahnya selama seribu bulan hingga ajalnya tiba, yaitu 83 tahun 4 bulan.

Setelah mendengar kisah Nabi Syam’un al-Ghozi as, para sahabat Nabi Muhammad saw menangis terharu, kata mereka, “Ya Rasullulah, tahukah baginda akan pahalanya?”
Jawab Rasulullah, “Aku tidak tahu.”

Setelah Rasulullah selesai berkisah, Allah menurunkan Malaikat Jibril as. dengan membawa surat Al-Qadr kepada Nabi Muhammad saw.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur`an) pada malam kemuliaan.
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril as. dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
(Al-Qadr [97]: 1-5)

Wallahu a'lam bish shawab

Disadur dari berbagai sumber.


http://islam-memang-benar.blogspot.com/2012/09/nabi-syamun-al-ghozi-as-samson_5270.html

 

Profil Abuya

Oleh:
KH. M. Ihya’ Ulumiddin

Pada dini hari Jum’at, tanggal 15 Romadhon tahun 1425 hijriyyah yang lalu, seorang ulama besar, guru kita dan panutan kaum muslimin wafat. Innaa Lillah wa Innaa ilaihi roji’uun. Berkaitan dengan wafatnya seorang alim, Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيْـبَةٌ لاَ تُجْبَرُ وَثُلْـمَةٌ لاَ تُسَدُّ وَهُوَ نَجْمٌ طُمِسَ مَوْتُ

 قَبِـيْلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

“ Meninggalnya seorang alim adalah malapetaka yang tidak bisa dipulihkan dan merupakan kecacatan yang tidak bisa ditambal. Meninggalnya seorang alim tak ubahnya bintang yang pudar sinarnya. Meninggalnya satu kelompok manusia jauh lebih ringan dibanding meninggalnya satu orang alim. “ ( HR Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al Baihaqi dari sahabat Abu Darda’ ra. / al Matjarur Rabih, al Hafizh ad – Dimyathi, hal – 17 )

Sahabat Ali bin Abi Tholib Karromallohu Wajhahu menegaskan pernyataan Baginda Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam . tersebut dan berkata:

إِذَا مَاتَ الْعَالِمُ انْثَلَمَتْ فِى اْلإِسْلاَمِ ثُلْمَةٌ لاَ يَسُدُّهَا شَيْءٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ



“ Jika seorang alim meninggal maka terjadilah kecacatan dalam Islam yang tidak bisa ditambal oleh apapun hingga hari kiamat “ ( HR al Khathib di kitab al Jami’ / Ushulut Tarbiyah an – Nabawiyyah, Abuya as – Sayyid Muhammad bin Alawi al – Maliki al Hasani , hal 22 )

Dalam kesempatan ini kita menulis dan membaca bukan dalam rangka meratapi wafat Beliau, karena setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, tapi kita menulis dan membaca dalam rangka mengenang, mengingat dan menuturkan kebaikan – kebaikan al Faqid ( yang telah hilang dari kita ) sebagai seorang ulama salaf besar dan mutsaqof ( terdidik ). rohimallohu wa qoddasa sirrohu. Rosululloh Shollallohu alaihi wasallam bersabda:


أُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوْا عَنْ مَسَاوِئِهِمْ


“ Tuturkanlah kebaikan – kebaikan orang – orang kalian yang sudah wafat, dan tahanlah diri kalian dari menuturkan keburukan – keburukan mereka “ ( HR Abu Dawud, al - Hakim dan al - Baihaqi dari sahabat Abdulloh bin Umar ra. Shahih / lihat Faidhul Qadir, Syarah al Jami’ as Shaghir. Al Munawi : 1 / 457 )

Menuturkan hasanat ( kebaikan – kebaikan ) Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani secara lengkap rasanya kita tidak mampu, apalagi di lembaran tulisan yang amat singkat ini, karena tak terhitungnya kebaikan – kebaikan itu. Beliau ibaratnya adalah “Khazanah majami’ul khoir “ ( gudang segala kebaikan ). Pertama, beliau adalah min ahlil bait ( keturunan baginda Rosululloh shollallohu alaihi wasallam ). Beliau adalah pakar di berbagai bidang keilmuan islam. Beliau adalah seorang yang masuk dalam kategori “ basthotan fil ilmi wal jismi “ ( perkasa dalam ilmu dan fisik ). Berdomisili di tanah haram yang tak lepas dari minum air zam – zam. Ayah Beliau, Sayyid Alawi al Maliki, yang menjadi guru di madrasah al Falah dan Masjidil Haram selama kurang lebih 30 tahun, adalah guru Beliau yang pertama dan yang utama, yang mengajarnya sendiri secara khusus. Kakek Beliau, Sayyid Abbas al Maliki adalah mufti dan qodhi di Makkah serta imam dan khathib tanah suci Makkah, yang menjabat sebagai imam dan khathib tersebut pada masa khilafah Utsmaniyyah dan tetap menjabatnya hingga kerajaan Saudi Arabia berdiri.

Abuya as – Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani adalah seorang yang kaya raya yang dermawan dengan kekayaannya, sekaligus dermawan dalam ilmu dan waktunya. Beliau produktif menelorkan tulisan – tulisan yang mencapai hampir 100 buku. Beliau memiliki sanad – sanad keilmuan yang tinggi ( sanad ali ). Beliau da’i kaliber internasional. Beliau dijunjung tinggi dan disegani alim ulama di Makkah dan di seluruh penjuru dunia. Beliau memiliki mulazim ( pengikut setia ) dan banyak tersebar di berbagai negeri. Dan kebaikan – kebaikan Beliau lainnya tidak bisa disebutkan. Sebuah keunggulan yang lengkap dan langka, bifadhlillahi ta’ala.

Pada kesempatan kali ini kita mudah - mudahan bisa menuturkan kebaikan Beliau kaitannya dengan kepeloporan dan keterdepanan dalam mempertahankan dan menyebar – luaskan paham ahlus Sunnah wal Jama’ah di abad 21 ini. Beliau, Abuya as Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani, adalah seorang murobbi yang robbani. Cukuplah untuk membuktikan hal itu pengalaman masing – masing ( para murid dan santri Beliau ) selama di Makkah al Mukarromah ketika bergaul bersama Beliau. Abuya mentarbiyah kita ( para santri ) secara total mulai aspek aqliyyah, ruhiyyah / khuluqiyyah, hingga aspek jasmaniyyah, yang dalam bahasa lain adalah aspek kogntif, afektif, dan aspek psikomotorik. Abuya menempa kita dari masalah – masalah kecil / remeh hingga masalah – masalah besar. Beliau memberikan pemahaman kepada kita sesuai dan pas dengan kemampuan dan kejiwaan kita.

Saat ta’lim, kita mendapatkan kesempatan untuk didengarkan bacaan kita. Ikatan ruhiyyah selalu terjalin. Saat ta’lim itu kita tahu betapa dalam dan luas keilmuan Beliau. Alangkah bergairahnya Beliau mengajar. Saat menjelaskan hal – hal berat, jadi terasa ringan karena di selingi humor. Di saat duduk – duduk bersama santai, Abuya memaparkan situasi kondisi masyarakat dan Beliau menelaahnya dari berbagai aspek dan sudut pandang. Tanpa terasa, banyak hal baru yang kita dapatkan. Wawasan semakin bertambah luas. Kita justru banyak mendapatkan ilmu dari kegiatan non – formal seperti ini, berkah dari ber- mujalasah ( duduk bersama ) dengan Beliau.

Abuya banyak mencotohkan sesuatu dengan tindakan nyata. Kedisiplinan, misalnya, tidak sekedar perintah, namun Beliaulah orang pertama yang melakukan. Dalam melatih kesabaran, Beliua tidak memberikan banyak retorika. Cukup, satu contoh, kita semua disuruh menunggu waktu sholat dengan duduk satu jam sebelum adzan, sembari membaca wirid. Terkadang rentang waktunya lebih lama lagi.

Kita dilatih peka terhadap lingkungan, sekatan, serta di-didik menjadi pribadi yang tidak malas. Kebersihan, keindahan dan kerapian adalah hal yang tak lepas dari perhatian Beliau. Kita tidak diperkenankan berpakaian asal – asalan. Kita dituntut tampil indah, segar, dan rapi. Hal ini mengingatkan kita pada biogarafi Imam Malik bin Anas ra dan Imam Ibnu Hajar al – Asqalani yang selalu tampil indah dan bersih, lahir maupun batin.

Dari segi ruhiyyah, kita dibina untuk selalu mengingat Alloh, dengan banyak berdzikir baik lisan maupun hati. Begitu juga sholawat, tak bosan – bosannya Beliau mengingatkan kita, karena sesungguhnya dzikir dan sholawat itulah suplemen bagi jiwa kita, sumber ketenangan.

Beliau memperlakukan kita tak ubahnya sebagai anak – anak Beliau sendiri. Penuh dengan mahabbah dan kasih sayang. Beliau memperlakukan kita sebagai seorang sahabat akrab, dekat dan tak ada jarak. Inilah yang dalam prinsip pendidikan modern dikenal dengan istilah shuhbah atau sistem pendidikan “ liberal “, yakni sistem pendidikan yang bebas tapi bertanggung jawab.

Kerobbanian Beliau dalam mentarbiyah juga tampak dari kenyataan bahwa masing – masing di antara murid merasa paling dicintai oleh Beliau. Satu hal yang menjadi tujuan besar Beliau dari tarbiyah model di atas adalah takwinur rijaal, yaitu membentuk kader; membangun manusia yang siap dan mampu terjun berjuang di bidang pendidikan dan dakwah. Dan alhamdulillah, alumni – alumni Beliau betul – betul tumbuh menjadi rijal – rijal tarbiyah dan dakwah di negerinya sendiri seperti Yaman, Mesir, Dubai, Indonesia, Malaysia, dan negeri – negeri yang lain. Puluhan pesantren di Indonesia, misalnya, berada di bawah isyrof ( pengawasan dan bimbingan ) Beliau.

Suatu anugerah yang besar bila kita memiliki figur murobbi seperti Beliau. Suatu keberkahan bila kita pernah berada dalam tempaan Beliau. Suatu kebahagiaan bila kita pernah bergaul bersama Beliau.



إِنَّهُ وَصَلَ وَأَوْصَلَ


“Sungguh Beliau telah sampai ( kepada Alloh ) dan menyampaikan ( membawa orang sampai kepada Alloh )“
Jika para pengikut Imam Bukhori mengatakan:


لَوْلاَ الْبُخَارِى مَا رَاحَ مُسْلِمٌ وَلاَ جَاءَ


Seandainya tanpa Imam al Bukhori, Imam Muslim tidak akan berangkat dan tidak akan hadir

Maka, kepada Abuya Sayyidana al Walid, kita katakan:


لَوْلاَ أَبُوْيَ مَا رُحْـنَا وَلاَ جِئْـنَا


Seandainya tanpa Abuya, kita semua tidak akan berangkat dan tidak akan hadir


لَوْلاَ أَنْتَ يَا أَبُوْيَ مَا اهْتَدَيْـنَا


Seandainya tanpa engkau, wahai Abuya, niscaya kita semua tidak memperoleh petunjuk


Maka semoga Alloh memberikan balasan sebaik – baik balasanNya kepada para hamba yang saleh. Engkau memiliki anugerah atas kami yang tidak bisa dipungkiri. Sungguh Alloh sebaik – baik para saksi.
Beliau telah menempa kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Alhamdulillah. Dan lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membalasnya? Rasanya kita tidak mungkin bisa membalas jasa besar ini. Namun, ada hal yang barangkali bisa membuat Beliau gembira di alam barzakhnya manakala melihat dan mendengarnya, yaitu bila kita masing – masing ( para santri ) menjadi orang – orang yang siap meneruskan perjuangan Beliau, mampu mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran – pemikiran Beliau, dan tetap menjalin dan menyambung do’a terhadap Beliau selama – lamanya.


Abuya As - Sayyid Muhammad Bin Alawy Al Maliky Al Hasany


Tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah Abad 21

Sebagai ulama besar kaliber internasional, kita menyadari, Beliau bukan saja milik kita, para santrinya, bahkan Beliau bukan saja milik Arab, Indonesia, Malaysia, atau milik negara Islam yang lain. Beliau adalah milik umat Islam sedunia, khususunya yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka semua mengenal atau setidak – tidaknya pernah mendengar. Hal ini bisa dibuktikan dari setiap kunjungan Beliau. Bila Beliau berkunjung ke luar negeri, para pemimpin, ulama, dan masyarakat awam di negeri tersebut menyambut Beliau dengan hangat dan gembira. Seringkali Beliau disambut ratusan ribu orang. Di musim haji, sekian banyak jamaah haji berziarah di kediaman Beliau yang selalu terbuka lebar untuk tamu. Beliau dicintai dan dihormati di seluruh dunia Islam.

Bukti itu semakin nyata saat Beliau wafat. puluhan ribu orang datang berta’ziah di kediaman Beliau. Ratusan ribu orang mengantar jenazah Beliau. Dan jutaan orang muslim di seluruh dunia mensholati ghoib, mendo’akan serta merasakan kehilangan dan duka amat mendalam. Innaa Lillah wa Innaa ilaihi rojiun. Wal Baqo’ Lillah.
Hidup Beliau memang bukan untuk diri sendiri. Beliau hidup untuk ummat dan dunia Islam. Beliau jelajahi Asia, Afrika, Eropa dan Amerika untuk menyeru umat manusia menegakkan kalimat Alloh, mentaati RosulNya dan berakhlak mulia. Hidup Beliau antara mengajar, beribadah, menulis dan berdakwah.
Tahun 1970 Abuya Al Walid mengajar di Universitas Ummul Quro Makkah, dan pada saat yang sama Beliau mendapatkan gelar doktor honoris causa dari al Azhar. Tahun 1971, setelah ayah Beliau wafat, ulama – ulama Makkah mendaulat Beliau untuk menggantikan sang ayah mengajar di tanah haram.

Awal tahun 80 –an Beliau melepas semua posisi itu, dengan dilandasi hati nurani dan akal bijaksana Beliau, karena fitnah yang demikian dahsyat yang dilancarkan ulama – ulama fanatik dari paham Wahabi. Ajaran dan keberadaan Beliau direspon mereka sebagai ancaman bagi ideologi dan otoritas paham Wahabi dengan dalih bid’ah dan syirik. Sejak saat itu, Beliau fokus mengajar di kediaman Beliau di Rushaifah. Namun, intan tetaplah intan di manapun berada. Pengajian Beliau di Rushaifah malam hari selalu dihadiri banyak orang setiap harinya, dan kian waktu kian bertambah.

Ulama – ulama Wahabi menyerang amaliah – amaliah keagamaan seperti dzikir jahri, tawassul, ziarah kubur, dzikral maulid dsb yang dianggap mereka sebagai bid’ah. Dan sasaran serangan itu yang utama adalah Abuya karena Beliaulah sunni yang berada di garis terdepan dalam mempertahankan prinsip – prinsip tasamuh ala Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sekian banyak buku dan artikel ditulis untuk menghantam Beliau. Sekian banyak ceramah dan kaset menghujat Beliau. Dan semua itu diekspos ke seluruh dunia melalui beragam media seperti membagi buku – buku secara gratis pada jamaah haji, internet dll. khususnya diarahkan kepada negeri – negeri yang Beliua mempunyai tempat di hati para penduduknya. Namun, Beliau tidak gentar dengan harus melakukan pembelaan diri, bahkan Alloh – lah yang akhirnya menggerakkan pena – pena penulis yang menerangkan pemikiran – pemikiran Abuya sekaligus pembelaan kepada Beliau. Di antara mereka berasal dari Maroko, Kuwait, Dubai, Yaman, India, dan Tunisia, seperti Dr Said Romdhon al Buthi, tokoh ulama Syiria. Di sinilah tampak keberanian, ketangguhan. Ghairah, sekaligus ketabahan Beliau yang luar biasa.

Seperti prinsip paham Ahlus Sunnah wal Jamaah pada umumnya, Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani berpandangan bahwa masalah yang menjadi pertentangan sesungguhnya adalah masalah yang masih dalam kategori masalah khilafiyyah furu’iyyah di antara para ulama. Namun, oleh sebagian pihak, masalah tersebut dijadikan masalah besar, seakan – akan sebagai aqidah, akibat dari mereka belajar secara doktrinal. Efek dari hal ini adalah ghuluw ( melampaui batas kewajaran ). Karena itu, pandangan Abuya, dalam menggali ilmu haruslah ditempuh jalur tatsqif, yaitu membuka wawasan seluas – luasnya. Ayah Beliau As Sayyid Alawi al Maliki pernah mengatakan:



إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ كُلَّمَا اتَّسَعَ أَفْقَهَ وَتَعَمَّقَ فِى التَّفَـقُّهِ فِى الدِّيْنِ قَلَّ إِنْكَارُهُ فِى كَثِيْرٍ مِنَ الْمَسَائِلِ

 وَالْقَضَايَا الْوَاقِعِـيَّةِ ِلأَنَّهَا يَسَعُهَا اخْـتِلاَفُ ذَوِى النَّظَرِ

“ Sesungguhnya orang yang belajar ilmu manakala berpandangan luas, yakni mendalam ilmunya dalam agama, maka sedikitlah keingkarannya terhadap masalah – masalah dan kasus – kasus kekinian, karena masalah itu telah ditampung oleh perbedaan pendapat dari para ulama yang mempunyai pandangan luas “ ( al Ghuluw. Abuya As Sayyid Muhammad / 46 )

Beliau mengkritisi para pembaharu abad 20 yang berupaya memutus umat Islam dari rantai generasi – generasi terdahulu atas nama memurnikan Islam, atas nama salafiyyah, atas nama ahli hadits, atas nama non madzhab, dsb. Beliau berpandangan bahwa mencela para pengikut madzhab, seperti dilakukan paham – paham ekstrim belakangan ini, berarti mencela seluruh umat Islam pada ratusan tahun sebelumnya. Menurut Beliau, itu bukan sikap seorang teman, namun merupakan sikap dan jalan yang ditempuh musuh Islam sekaligus mencari musuh dalam agama Islam dan membuahkan perpecahan. Beliau meyakini bahwa madzhab – madzhab besar yang mengikuti ulama sunni dan sufi ratusan tahun silam merupakan penghubung kita dengan Alqur’an dan as Sunnah.

Beliau mengakui eksistensi madzhab empat dan menyerukannya, tetapi tanpa fanatisme, agar ajaran Islam yang bak samudera tidak menjadi aliran pemikiran yang sempit. Terhadap pendapat orang lain, betapapun Beliau memiliki ilmu luas dan dalam, Beliau amat toleran. Beliau tidak menutup diri. Beliau menerima pendapat lain, bila didapati pendapat itu memiliki dalil yang kuat.

Abuya memiliki dzauq ( perasaan ) yang tinggi terhadap nilai keimanan dan keislaman seseorang. Aspek “ berbaik sangka kepada kaum muslimin “ Beliau amat besar, sehingga tidak mudah dan tidak sembarangan mengkafirkan dan membid’ahkan orang. Beliau meyakini bahwa mayoritas umat Islam ini adalah baik, hanya sedikit saja yang perlu diluruskan akibat fanatisme dan ideologi ekstrim. Abuya memahami bahwa yang diperlukan kaum muslimin dewasa ini adalah kerja- kerja nyata untuk mengangkat derajat kaum muslimin secara spiritual, sosial dan meterial serta bahu membahu memerangi kejahatan dan kemaksiatan, daripada membuang – buang waktu yang berharga untuk bermusuhan dan berdebat mengenai masalah – masalah yang telah disepakati perbedaannya oleh para ulama. Pandangan Beliau yang lurus, moderat, dan toleran ini tentu tumbuh dari sebuah kedalaman ilmu dan keluasan wawasan yang luar biasa. Dan itu semuanya telah Beliau monumenkan dalam puluhan karya tulis Beliau yang bisa dikaji, dibaca, dan disimak siapa saja.

Sementara tumbuhnya fanatisme, ghuluw dan semacamnya banyak diakibatkan oleh tiga hal, yaitu 1. kedangkalan ilmu dan atau belajar tanpa guru 2. bangga diri terhadap pendapat sendiri ( ujub ) 3. kecenderungan mengikuti hawa nafsu. Dari tiga hal inilah tumbuh takfir ( pengkafiran ), tabdi’ ( pembid’ahan ) dan tadhlil ( penyesatan ) terhadap pihak atau kelompok yang dianggap tidak sama dengan pandangannya.
Abuya menyuruh menghiasi dan memadu ilmu dengan ghairah ( semangat ) yang tinggi. Beliau berharap kader-kadernya menjadi “ alim “ sekaligus “ ghayur “, berilmu sekaligus juga memiliki ghirah yang tinggi. Menurut Beliau:


عِلْمٌ بِلاَ غَيْرَةٍ جَامِدٌ وَغَيْرَةٌ بِلاَ عِلْمٍ لاَ تَصْلُحُ لِلرِّيَاسَةِ


“ilmu tanpa ghirah beku sedang ghirah tanpa ilmu tidak layak menjadi pemimpin “

Di samping itu, Beliau juga menyeru untuk menempuh suluk, yaitu hal – hal yang berkaitan dengan prilaku, jiwa, dan hati, seperti mengamalkan wirid-wirid, berjamaah, qiyamullail, berakhlak luhur, mengajar, berdakwah, bisa hidup lebih bermanfaat bagi orang lain dsb. Tidak sekedar ilmu dan ilmu belaka. Dalam hal ini Beliau memiliki rangkaian sanad yang tinggi dan dekat dengan guru-guru besar tariqat-tariqat terkenal di dunia di samping mempunyai jaringan komunikasi dengan ulama-ulama besar dan dai-dai agung di dunia. Konsistensi Beliau membela paham Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus menerus dan tak kenal lelah itu pada akhirnya mendapatkan hasil. Beberapa tahun menjelang akhir hayat Beliau, tampak buah-buah perjuangan Beliau. Pemikiran dan pandangan Beliau bebas diakses. Beliau diakui sebagai ikon keterbukaan pemikiran di Saudi Arabia yang terkenal konservatif. Hal ini tercermin dari undangan untuk Beliau pada dialog nasional 5 -9 Dzul Qo’dah 1424 H di Makkah al Mukarramah, dengan tema “Al Ghuluw al I’tidal: Ru’yah Manhajiyyah Syamilah” yang diprakarsai oleh putera mahkota kerajaan Saudi saat itu, Pangeran Abdulloh yang sekarang menjadi Raja Saudi. Saat itu Beliau berhasil menyebarkan pemikiran – pemikiran Beliau ke segala penjuru dunia melalui berbagai stasiun televisi. Penguasa Saudi Arabia berubah mendamba figur Beliau yang moderat dan toleran. Beliau bahkan diminta kembali mengajar di kawasan Masjidil Haram. Tetapi keberhasilan itu setelah melalui masa – masa sulit, lebih dari 20 tahun, yaitu antara 1980 – 2000 –an. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan.

Demikianlah, betapa besar keterdepanan dan kepeloporan Beliau dalam mempertahankan dan menyebarluaskan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu, amat beralasan bila Beliau disebut - sebut sebagai tokoh Ahlus Sunnah wal Jamaah abad 21 ini. Mereka yang berseberangan pemikiran dan mabda’ ( prinsip ) dengan Beliau pun mengakuinya dengan suka atau terpaksa.


شَهِدَ اْلأَنَامُ بِفَضْلِهِ حَتىَّ الْعِدَا - وَالْفَضْلُ مَا شَهِدَتْ بِهِ اْلأَعْدَاءُ


“ Umat manusia bahkan lawan-lawan bersaksi akan kebesarannya. Dan kebesaran yang mengesankan adalah kebesaran yang diakui oleh para lawan “

Sekali lagi kita katakan, alangkah besarnya jasa – jasa Beliau dan betapa lemahnya kita membalas jasa- jasa besar itu. Tapi, ada hal – hal yang bisa kita lakukan yang barangkali bisa membuat Beliau gembira di pembaringan, yaitu: 1) Kita meneruskan perjuangan Beliau 2) Kita mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran Beliau 3) Kita tetap jalin dan sambung do’a kepada Beliau. Dalam syair dikatakan:

فَتَشَبَّهُوْا إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ - إِنَّ التَّـشَبُّهَ بِالْكِرَامِ فَلاَحُ


Jika kamu tidak mampu menjadi seperti mereka maka bertasyabbuhlah ( serupailah mereka ) .Sesungguhnya menyerupai orang – orang mulia itu suatu keberuntungan



Mudah –mudahan Alloh swt. senantiasa melimpahkan keluasan rahmat dan maghfirohNya kepada Beliau, menempatkan Beliau pada derajat yang tinggi di surgaNya bersama al Anbiya, ash shiddiqin, asy syuhada’, dan ash shalihin. Amin. Wahasuna ulaika rofiiqo. Dan semoga Alloh mengembalikan pancaran keberkahan, sirr, dan nur Beliau kepada khalifah Beliau, Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawi al Maliki dan pendampingnya Sayyid Abdulloh bin Muhammad bin Alawi al Maliki, serta kepada kita semuanya. Amin ya Rabbal alamin.

Profil Abina

Seorang Pandai Memandaikan

Terlahir pada 10 Agustus 1952  di desa Parengan Maduran Lamongan, KH Ihya’ Ulumiddin setelah lulus SR pada tahun 1964 lalu melanjutkan pendidikan di pesantren Langitan dalam asuhan KH Abdul Hadi Zahid, seorang ulama kharismatik yang sangat terkenal dengan ke istiqamahan nya. Kurang lebih sepuluh tahun mondok di langitan dari tahun kemudian melanjutkan magang sekaligus belajar di  YAPI Bangil yang dinahkodai oleh Habib Husen al Habsyi sebelum beliau berubah faham sebagai seorang penganut Syiah.  Dari Habib Husen inilah KH M. Ihya’ Ulumiddin mengakui mengenal sesuatu yang dinamakan gerakan dakwah. 

Dari persentuhan dengan Habib Husen ini pula, semangat mendalami ilmu dan memperjuangkan agama semakin membara dalam hati ustadz Ihya’ muda yang kala itu sudah mulai banyak dikenal sebagai seorang santri yang alim. Akhirnya sampailah pengembaraan ilmu di tanah haram Makkah yang pada gilirannya Allah mempertemukan beliau dengan guru murabbi Abuya As Sayyid Muhammad al Maliki yang selalu beliau ceritakan segala tentangnya dalam kajian-kajian ilmu.

Setelah empat tahun berkhidmah dan belajar kepada Abuya As Sayyid Muhammad al Maliki, Ustadz Ihya’ pun kembali pulang ke Indonesia pada tahun 1980. Meskipun sudah berada di Indonesia,  tetapi hubungan antara murid dan guru ini terus berkesinambungan hingga saat ini, saat pesantren Abuya telah diasuh oleh As Sayyid Ahmad bin Muhammad al Maliki. Wujud dari hubungan ini salah satunya adalah hingga kini mayoritas santri Indonesia yang bermaksud untuk mondok di Rushaifah Makkah harus terlebih dulu berstatus sebagai santri Ma’had Nurul Haromain Ngroto Pujon Malang. Sebuah hubungan yang tiada akhir yang semoga diberkahi dan dilanggengkan oleh Allah. 

Merintis Dakwah

“Setinggi apapun ilmu yang engkau capai, tetapi jika telah memasuki dunia dakwah maka kamu harus memulainya lagi dari paling bawah”, ini adalah ungkapan yang sering disampaikan Abi, sapaan akrab KH Ihya’ Ulumiddin. Hal ini terkait dengan pengalaman pribadi ketika mulai merintis dakwah di rumah mertua di Keputran Kejambon Surabaya Jatim. Saat itu, Abi mengetik dan memfotocopykan sendiri tarjamah kitab fiqih paling dasar Sullam Safinah untuk kemudian diajarkan kepada para ibu di sekitar rumah. Jika dalam pepatah dikatakan sebaik-baik apapun bangkai ditutupi, toh baunya tercium juga. Sebaik apapun ditutupi, kejahatan pasti terbongkar. Sebaliknya juga demikian, kebaikan tidak perlu dipasarkan, diberitakan dan ditonjolkan karena manusia pasti tidak akan mampu menutup mata dari kebaikan. Becik ketitik olo ketoro, baik pasti terlihat, buruk pasti tersingkap. Allah azza wajalla dalam firmanNya juga memerintahkan; “Dan Katakanlah: "Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”QS At Taubah:105. “...tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…”QS al fath:29. 

Demikianlah, meski hanya bermula dari dakwah di gang sempit di sebuah mushalla 3x4 dan selama dua tahun penuh hanya ada seorang santri bernama Ridhwan Yasin yang kini menjadi da’i penceramah dengan jam terbang sangat padat, nama Ustadz Ihya’ mulai dikenal oleh kalangan mahasiswa. Perlahan-lahan pada era 80-an itulah Ustadz Ihya’ kemudian menjadi salah seorang pioneer dakwah di kampus-kampus negeri di surabaya dan malang. Pada awal-awal kemunculan HTI, Beliau diangkat menjadi salah seorang guru pembina bersama Ustadz Abdurrahman al Baghdadi, perintis HTI.  Dakwah di kampus inilah cikal bakal yang kemudian melatarbelakangi berdirinya Yayasan al Haromain yang sekarang berpusat di Ketintang Barat Gang II. Para mahasiswa-mahasiswi, ikhwan akhowat yang dulu pernah mengaji kepada Abi dan sekarang telah tersebar di banyak kota dan bahkan negara sampai kini masih banyak pula yang terikat dan terhubung dengan Abi, dengan dakwah JDA (Jamaah Dakwah al Haromain). Keterikatan dan hubungan terasa semakin dekat ketika kajian-kajian Abi yang berpusat di pesantren Nurul Haromain dan Ketintang bisa diakses secara live lewat sebuah TV internet al Muttaqin. TV yang berpusat di Malaysia. Intensitas dakwah yang begitu padat dan hubungan yang akrab dengan kalangan kampus ini merupakan satu hal yang membedakan Abi Ihya’ dengan Ustadz dan para kiai lain ketika itu yang rata-rata menjadikan pesantren sebagai basis utama untuk merintis dakwah.


Selain melakukan pembinaan di kalangan mahasiswa, Abi Ihya’ juga masih aktif mengajar di beberapa pesantren di wilayah jawa timur dan sebagian komunitas masyarakat di madura. Hal demikian membuat Abi waktu itu banyak menjalani kehidupan dalam perjalanan. Setelah sekitar delapan tahun berpindah dari satu titik ke titik lain, Abi sempat mengadu kepada Sang Guru, Abuya Al Maliki; “Sampai kapan saya harus begini?” maka Abuya memberikan jawaban; “Itu semua adalah sesuatu yang memang harus dijalani, periode kamu mengenalkan dakwah (Dauratut Ta’riif) sehingga waktu sepuluh tahun lamanya” 

Dan memang setelah sepuluh tahun dijalani, Abuya kemudian memerintahkan agar Abi menjadi pengasuh pesantren yang barusan selesai dibangun di desa Ngroto Pujon Malang yang pembangunannya sudah dimulai sejak tahun 1986.

Sejak tahun 1991 Abi Ihya’ pun memulai dakwah dengan suasana baru. Selain masih terus membina mahasiswa dan para jamaah di Surabaya, beliau pun menjadi pengasuh Pesantren Pengembangan dan Dakwah Nurul Haromain sehingga harus membagi waktu pulang pergi antara Surabaya dan Malang. Hingga kini setiap Senin sampai Kamis beliau berada di Pujon dan Jum’at sampai Ahad berada di Surabaya. Kebiasaan yang barangkali dirasakan bagi banyak orang cukup melelahkan, apalagi kondisi jalan yang semakin hari semakin padat oleh kendaraan yang sama sekali tidak dikontrol dan dibatasi jumlah populasi untuk disesuaikan dengan kondisi dan kapasitas jalan. Ditambah lagi dengan bencana Lapindo yang sampai kini belum terselesaikan masalah transportasi yang diakibatkannya. Porong - Gempol masih sering macet. Akan tetapi seperti disabdakan Nabi Saw bahwa jika ingin mensyukuri nikmat dunia maka kita harus melihat kepada orang yang berada di bawah kita. Begitulah Abi yang seringkali mengatakan bahwa beliau cuma sekali seminggu PP Surabaya Malang, sementara para sopir atau banyak lagi orang yang setiap hari PP  Surabaya Malang, atau bahkan dalam sehari lebih dari satu kali. Ya, meski bukan aktivitas yang ringan tetapi seperti dalam hikmah, jika seringkali bersentuhan maka semakin tidak terasa. Betapa berat dan melelahkan sebuah pekerjaan, akan tetapi jika sudah biasa maka tidak terasa. 

Bersama Abuya As-Sayyid Muhammad Bin Alawy Al Maliky Al Hasany
ketika beliau berkunjung ke Malaysia

 Mencetak Kader

“Saya ingin mendirikan sebuah pesantren” Inilah salah satu jawaban ketika anda, para pembaca berkesempatan datang di pesantren Nurul Haromain Pujon dan bertanya kepada salah seorang santri putera di sana; “Apa cita-cita anda?” Jika latar belakang santri tersebut adalah putera seorang kiai maka itu adalah lumrah. Akan tetapi jika santri tersebut adalah anak petani maka ini sungguh harus diketahui dan diakui sebagai sesuatu yang luar biasa, hasil dari sebuah tarbiyah dakwah, bukan sekedar ta’lim. Perlu diketahui bahwa meski telah belajar di pondok pesantren sekian lama, sangat jarang seorang santri anak petani yang bercita-cita tinggi menjadi seorang kiai, mendirikan dan merintis sebuah pesantren. Akan tetapi Abi Ihya’ Ulumiddin telah membuktikan diri sebagai seorang pendidik yang berhasil merubah tradisi pesimis seorang santri. Betapapun kebanyakan adalah anak-anak petani desa, mayoritas santri-santri beliau di pesantren Nurul Haromain memiliki cita-cita tinggi dan mulia sebagai seorang juru dakwah dengan salah satu cara mendirikan pesantren untuk yatim dhuafa’, pesantren untuk umum atau minimal Lembaga Pendidikan Islam sebagai salah satu solusi pendidikan umat Islam masa kini atau majlis ta’lim. Sampai hari ini, para santri Nurul Haromain yang dianggap dan diperlakukan oleh Abi sebagai anak sendiri tetap menjadi ujung tombak perkembangan dakwah JDA/PERSYADHA yang telah memiliki cabang di Batam dan  hendak membuka cabang di Samarinda. Kita berharap tradisi ini tetap eksis dan terus berkembang di kemudian hari.

Apa rahasia ini semua? Sebagai seorang yang figur yang dikenal low profile dan suka merendah, Abi hanya bilang ini semua adalah berkah guru, berkah Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki. Meski demikian perlu kiranya kita membuat analisa. Dalam sebuah teori pendidikan dikatakan cara berfikir dan berperilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh ayah dan gurunya. Jika kebanyakan santri Nurul Haromain memiliki tekad menjadi seorang perintis, maka ini sangat sesuai dengan jiwa sang guru Abi Ihya’ Ulumiddin yang sejak awal menapakkan kaki di medan dakwah memiliki tekad berdiri di atas kaki sendiri. Sejak datang dari Makkah beliau bertekad untuk merintis dakwah yang di kemudian hari membesarkan namanya dengan berjuang sendiri dari nol. Tekad bulat ini terindikasi dari sikap beliau kala itu yang secara baik-baik menolak diambil menantu seorang kiai pemilik pesantren besar. Tekad dan sikap seperti inilah yang selalu ditanamkan oleh beliau kepada para santrinya. 

Imam Ibnul Jauzi, salah seorang ulama yang menjadi salah satu korban kebiadaban tentara Jengiz Khan ketika membumi hanguskan Baghdad, menulis dalam kitabnya Talbis Iblis, sebuah pengamatan bahwa sedikit sekali terkumpul dalam diri seseorang dua keahlian; ahli fiqih dan ahli hadits. Di sana beliau mencontohkan seorang ahli hadits bernama Ibnu Shaid yang ketika seorang wanita datang bertanya bagaimana hukumnya jika seekor ayam jatuh dalam sumur; apakah airnya mutanajjis atau masih tetap suci? Maka Ibnu Shaid kebingungan dan justru balik bertanya; “Mengapa sampai ada ayam jatuh ke dalam sumur?” “Karena sumurnya tidak tertutup” jawab si wanita. Akhirnya seorang ahli fiqih yang kebetulan sedang berada di situ memberikan jawaban: “Jika air berubah maka sumur itu mutanajjis dan jika tidak berarti masih tetap bisa dipakai untuk minum dan bersuci”. Sebaliknya jika seseorang hanya mempelajari fiqih tanpa mengetahui dari manakah sebuah hukum ditelurkan dan bagaimana proses Istinbathnya maka salah satu dampak dari hal ini adalah sikap fanatik, ogah menerima pendapat lain dan cenderung menyalahkan sikap dan pemahaman berbeda dari orang lain.

Karena khawatir disebut terlalu menyanjung jika mengatakan Abi Ihya’ seorang ahli fiqih dan ahli hadits, maka di sini kami hanya perlu menyampaikan bahwa Abi Ihya’ telah berusaha menyatukan dua disiplin ilmu dalam materi pelajaran di pesantren Nurul Haromain. Secara formal kitab fiqih memang tidak dikaji, akan tetapi dengan mengkaji Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud dan Sunan Turmudzi, para santri belajar fiqih secara langsung dengan mengetahui sumber dan metode pengambilan hukum. Sebagai contoh misalnya; karena mengikuti kajian kitab hadits maka para santri mengenal dalil larangan melihat wanita lain dan dalil kehalalan penglihatan pertama dari hadits tentang bagaimana dalam musim haji wada’ Rasulullah Saw memutar kepala Fadhl bin Abbas ra yang terbengong melihat wajah seorang wanita yang datang bertanya kepada Rasulullah Saw. Juga sabda beliau kepada Ali; “Bagimu pandangan pertama...”. 
Tradisi keilmuan seperti ini membuat para santri lebih terbuka dan luas cakrawala berfikir sehingga ketika ditugaskan berdakwah hati merasa enjoy bergaul dengan semua orang islam, tanpa ada perasaan risih berhadapan dengan orang lain dengan aneka macam madzhab karakter, aliran madzhab dan latar belakang. 
Dengan mempelajari hadits secara tahqiq maka bukan sekedar mengetahui bagaimana para imam fiqih empat madzhab menelorkan hukum, akan tetapi juga secara langsung mengetahui prinsip dan sikap Rasulullah Saw dalam merespon realitas yang berkembang. Mempelajari hadits berarti menyebut dan mengingat Rasulullah Saw dan seperti dikatakan para ahli suluk bahwa menyebut dan mengingat Rasulullah Saw bisa menambah keimanan. Jadi kajian hadits secara langsung adalah upaya memperkuat Aqidah sebagai modal utama berdakwah dan berjuang di jalan Allah.

Untuk memperkuat Aqidah ini maka langkah Abi dalam tabiyah kepada para santri adalah mewajibkan shalat malam dan memperbanyak dzikir. Setiap malam jam 02: 30 para santri dibangunkan untuk bersama-sama shalat tahajjud dan bermunajat kepada Allah. Membangun tradisi shalat malam di wilayah pujon yang dingin diakui sendiri oleh Abi sebagai sesuatu yang saat itu cukup berat. Akan tetapi pertolongan Allah datang sesuai kesiapan seorang hamba. Tekad untuk mencetak kader dakwah menjadikan aktivitas yang pahit berubah menjadi manis dan kini pun buah manis itu bisa dilihat dan dirasakan. Meski Abi tidak sedang berada di pujon, para santri Nurul Haromain tetap aktif melakukan shalat malam.

Karya Ilmiah

Apa yang ada pada dirimu diketahui dari mulutmu. Keluasan ilmu seorang KH Ihya’ Ulumiddin bisa diketahui pula dari buku-buku yang banyak ditulisnya. Dimulai Jalaul Afham syarah Aqidatul Awam yang ditulis di Makkah sewaktu belajar kepada Abuya. Kitab berbahasa Arab ini entah sudah naik cetak berapa kali karena sudah banyak pesantren di Indonesia yang menjadikan kitab ini sebagai kurikulum wajibnya. Hebatnya, Abi sama sekali tidak melarang siapapun mencetak dan mengedarkan kitab ini. Pernah salah satu penerbit islam sangat besar datang meminta izin untuk mencetak. Tentu saja Abi mengizinkan, akan tetapi ketika dalam surat perjanjian ada poin penerbit lain tidak boleh mencetak maka Abi menolak dan membatalkan perjanjian itu. Sikap ikhlas yang barang kali jarang sekali ditemukan dalam sebuah karya ilmiah zaman ini yang rata-rata ditulis (Hak cetak dilindungi undang-undang).

Karya lain adalah buku praktis tentang shalat yang berjudul Kaifa Tushalli, tatacara shalat menurut Rasulullah Saw, sebelum seperti sekarang ini di mana banyak buku tata cara shalat menurut Rasulullah Saw dicetak. Kaifa Tushalli telah dicetak dan disebarluaskan oleh AMM Jogjakarta pada era tahun 90-an. Selain itu juga dicetak oleh Jamaah Dakwah al Haromain sendiri. Banyak orang mampu menulis buku besar, akan tetapi membuat suatu buku praktis tidak bisa dilakukan kecuali oleh yang betul-betul mengusai sebuah disiplin ilmu yang ditulisnya. Selain Kaifa Tushalli, Abi juga menulis buku praktis seperti halnya Zakat, Fiqih Puasa, Haji Tamattu’, Risalah Wudhu, Merawat Jenazah dll. Keahlian menulis dan membuat sebuah buku inipun berusaha beliau tularkan kepada para santrinya sehingga tidak sedikit santri beliau baik dari kalangan pesantren ataupun kampus yang bisa menulis dan membuat sebuah karya tulis.

Sedikit paparan di atas kiranya cukup menjadi penegasan bahwa Abi Ihya’ adalah seorang ahli yang bisa membuat orang lain ahli. Seorang pandai yang memandaikan orang lain. Inilah karakteristik salah seorang figur yang oleh Rasulullah Saw layak untuk dikepingini, selain figur seorang kaya raya yang memberikan kekayaannya sehingga bisa membuat orang lain kaya. 

Semoga Allah selalu menjaga dan memberikan kesehatan kepada beliau. Amin.